Konflik Manusia dengan Gajah Masih Terjadi di Aceh

Interaksi negatif antara manusia dengan gajah sumatera terus terjadi di Aceh. Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menunjukkan, sejak 2019-2024, terjadi 761 konflik di sejumlah wilayah kecuali di Kabupaten Simeulue, Aceh Singkil, Kota Langsa, Kota Lhokseumawe, Kota Banda Aceh, dan Kota Sabang.

Rinciannya, pada 2019 (106 konflik), 2020 (111 kasus), 2021 (145 kasus), 2022 (136 kasus),  2023 (149 kasus), dan 2024 (114 kasus).

Sudirman, warga Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, mengatakan bahwa konflik belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Sebelum perkebunan skala besar datang, konflik hanya sesekali terjadi.

“Sekarang, gajah kehilangan habitat. Kami, masyarakat kecil, jadi korban karena gajah masuk kebun,” jelasnya, Kamis (7/8/2025).

Ansari, warga Pinto Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, menyampaikan hal senada.  Akibat perluasan kebun sawit di Kabupaten Bireuen, gajah terperangkap di wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah.

“Habitatnya menyempit, mereka masuk ke kebun warga mencari pakan.”

Warga Bener Meriah dan Aceh Tengah sadar, gajah membutuhkan habitat luas.

“Konflik meningkat dalam 10 tahun terakhir. Dulu, dalam setahun konflik bisa dihitung dengan jari. Habitat gajah harus dijaga, agar manusia dan gajah dapat hidup berdampingan dengan baik,” ujarnya.

Sebelumnya, Ujang Wisnu Barata, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, kepada Mongabay menyatakan bahwa pihaknya telah mengimbau masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian gajah sumatera

“Caranya, dengan saling mengormati dan tetap menjaga habitatnya,” awal April 2025.

Selamatkan gajah

Kementerian Kehutanan Indonesia pada Kamis (7/8/2025), menegaskan komitmennya melaksanakan arahan Presiden Prabowo Subianto untuk menyelamatkan dan melestarikan populasi gajah sumatera yang berstatus Kritis.

Presiden telah menyerahkan 90.000 hektar lahan di Aceh untuk kawasan perlindungan gajah. Lahan tersebut sebelumnya dikelola PT Tusam Hutan Lestari, pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) berdasarkan SK.556/Kpts-II/1997, seluas 97.300 hektar.

Upaya nyata yang dilakukan adalah penguatan pengelolaan koridor gajah di 22 lanskap kunci, sekitar 1.100 individu gajah, dengan dukungan Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) dan lembaga mitra.

Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan, usai Rapat Koordinasi dan Evaluasi Program Peusangan Elephant Conservation Initiative (PECI) Aceh, menjelaskan bahwa pengelolaan koridor dilakukan secara ilmiah dan realistis.

“Targetnya, memperbaiki habitat, menurunkan konflik, serta meningkatkan keterlibatan masyarakat lokal.”

Program PECI Aceh menjadi model awal yang dikembangkan di kawasan konsesi Tusam, yang mencakup dua blok utama masing-masing 21.000 hektar dan 14.000 hektar. Lokasi ini diperkirakan dihuni sekitar 67 individu gajah liar.

Aktivitas yang dilakukan meliputi pendataan ulang populasi gajah menggunakan teknologi geospasial dan pemantauan lapangan, perbaikan habitat melalui penanaman pakan alami, pembangunan salt licks atau sumber mineral, serta penyediaan kubangan air. Pemberdayaan masyarakat di 12 desa penyangga juga dilakukan melalui sistem agroforestri berkelanjutan yang ramah gajah.

“Warga diajak menanam komoditas utama seperti kopi, kakao, pinang, dan durian. Ini sekaligus langkah mitigasi konflik dengan melibatkan masyarakat sebagai bagian solusi, termasuk penyediaan pakan transisi agar gajah tidak masuk ke permukiman.”

Konservasi gajah

Wisnu Nurcahyo, Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM), mengingatkan bahwa efektivitas konservasi gajah sumatera sangat bergantung pada kepastian status lahan dan kesesuaian habitat.

“Jika dibuat seperti taman nasional atau kawasan konservasi, itu akan lebih baik. Tantangannya besarnya, status lahan yang tumpang tindih dengan kebun sawit, tambang, dan permukiman,” ungkap Wisnu, dikutip dari situs UGM, Selasa (22/7/2025).

Konservasi ideal harus dilakukan di habitat asli yang masih menyediakan pakan dan air alami. Bukan di bekas perkebunan atau dekat permukiman. “Juga, melibatkan masyarakat lokal dan dukungan organisasi masyarakat sipil.”

Pemerintah telah memiliki Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah namun, implementasinya masih lemah karena kurangnya kolaborasi dan pendanaan berbagai pihak.

“Masalah seperti banyak anak gajah mati karena virus EEHV dan gajah dewasa menjadi korban perburuan liar masih terus terjadi.”

Penyelamatan populasi tersisa harus didukung patroli kuat dan penyediaan peralatan medis sesuai standar.

“Konservasi gajah adalah tanggung jawab bersama, harus menjadi gerakan kolektif semua pihak,” paparnya. (Sumber: mogabay.id)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Alamat:

Jl. Cut Nyak Dhien No.KM.1 2, Emperom, Kec. Jaya Baru, Kota Banda Aceh, Aceh 23232

Telepon: (0651) 42694